Saya
menuliskan catatan tentang pulau Buru dalam Memori Tapol ini secara garis besarnya
berdasarkan siaran pers yang saya dapatkan beberapa hari lalu dari panitia
Fisipol khususnya Departemen Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta. Ya, pada Jumat, 11 Maret 2016,
Departemen Sosiologi UGM bekerjasama dengan Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) telah menyelenggarakan seminar sekaligus bedah buku seorang tahanan politik
(tapol) rezim Orde Baru (Orba) yang pernah dibuang ke pulau Buru. Namanya Hersri
Setiawan. Ia menuliskan pengalaman hidupnya di pulau Buru itu melalui bukunya Memoar Pulau Buru. Buku ini menjadi penting dan menarik karena didalamnya terdapat sejarah kemanusiaan yang tidak boleh dilupakan bangsa khususnya para penguasa negeri ini dan sekaligus menjadi referensi pengetahuan bagu generasi muda untuk melacak kebengisan penguasa kala itu. Hersri adalah satu
dari ribuan tapol lainnya yang mengalami penderitaan karena rezim penguasa yang
takut dan gagap dengan segala hal berbau komunisme. Hersri beruntung karena dia
masih mendapatkan “petunjuk” atau “pencerahan” dari Pulau Buru.
Sebelum
Hersri, sastrawan kemanusiaan dalam ranah idealita dan realita Pramoedya Ananta
Toer telah menghasilkan empat karya dari pulau Buru yang dikenal sebagai
Tetralogi Buru. Pramoedya adalah tokoh avant garde soal pulau Buru dan kompleksitas permasalahan didalamnya. Keempat anak rohani Pramoedya yang mengguncang rezim Orba itu adalah Bumi Manusia, Anak Semua
Bangsa, Jejak Langkah dan, Rumah Kaca. Tidak hanya Tetralogi Buru,
Pramoedya juga menuliskan kisah hidup di pulau Buru melalui anak rohani yang
lain yaitu Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (NSSB) Jilid I dan Jilid II. Jika
tetralogi Buru merupakan kisah fiksi berlatar sejarah bangsa dengan tokoh utama Raden
Mas Tirto Adhi Soerjo, Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu dua jilid itu justru pengalaman nyata yang dialami Pramoedya sendiri
selama hidup dan bekerja paksa. Ia membabat alas, membuka hutan, merintis jalan
baru, dan lain sebagainya dalam suasana keterpencilan diri di pulau pembuangan bersama ribuan tapol lainnya.
Pramoedya bahkan sering menyebut ribuan manusia yang menjadi budak ketertindasan rezim
ini diperlakukan tidak lebih dari seekor binatang!!!
Sebenarnya masih ada beberapa nama lagi tapol yang mendapat inspirasi pulau Buru. Pada catatan ini, izinkan saya hanya menuliskan dua nama saja yaitu Hersri Setiawan dan Pramoedya Ananta Toer. Meski ada segelintir orang yang mendapat "ilham" dari pulau Buru, tetap saja lebih banyak tapol yang pasrah hingga akhirnya tak berdaya dengan hidup dan penghidupan di Pulau Buru.
Kembali
ke Hersri. Dalam pidato pembukaan saat seminar di UGM, ia menyatakan acara ini
menjadi penanda dimulainya gerakan untuk menghentikan kebisuan atas tragedi
yang terjadi pada kurun 1965-1966 oleh Rezim Orba. Hersri menutukan pembacaan pusi
juga diperlukan untuk mengenang kawan-kawan seangkatannya yang diculik dan
tidak pernah ditemukan ketika tragedi terjadi.
Di
sisi lain, Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid dalam sambutannya menjelaskan ada
budaya takut yang terbentuk karena kebijakan-kebijakan represif rezim Orba.
Namun, kata Hilmar, kini semua orang telah berani berpikir sendiri tanpa harus
takut pada siapa pun. Sejarawan pengagum Pramoedya Ananta Toer itu bahkan
mengapresiasi Kampus UGM khususnya Fisipol UGM yang telah menghantarkan
masyarakat keluar dari ketakutan-ketakutan yang terbentuk di masa Orba.
“Apa
yang dilakukan Pak Hersri dapat dicontoh
oleh generasi muda, bahwa akan ada anak muda yang mengikuti langkah Pak Hersri
yang berani mengungkapkan pikirannya,” kata Farid.
Dosen
sosiologi UGM Dr. Arie Sudjito selaku moderator diskusi bedah buku Memoar Pulau Buru Hersri menyatakan
Pulau Buru adalah sebuah pulau di Maluku yang dijadikan kamp kerja paksa pada
masa itu. Pulau Buru yang serupa kamp kerja paksa, tempat pembuangan dan
penculikan tapol, dan seterusnya itu merupakan beberapa sikap represif
pemerintah yang berhasil menciptakan ketakutan kolektif di masanya.
Beberapa
narasumber seminar dan bedah buku Hersri menyatakan pendapatnya. Roichatul
Aswidah dari Komnas Ham menjelaskan kejahatan kemanusiaan pada 1965 terjadi di
beberapa daerah. Kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang dikelola oleh
pemerintah/rezim yang berkuasa. Hingga kini tidak ada kompensasi dari negara
kepada korban. Roichatul juga menggarisbawahi tragedi ini bukan kesalahan
pemerintah dan para pelaku di lapangan semata. Ya, ini tragedi! Menurut
Roichatul, masyarakat yang memilih diam dan membiarkan kekerasan itu terjadi
juga patut bertanggungjawab.
Berbeda
dengan Roichatul, Budi Irawanto, pengamat media dan film dari Fisipol UGM,
khusus membahas buku-nya Hersri. Istilah ET- Eks-Tahanan Politik dan Hersri
pernah menjadi bagian di dalamnya. Ada upaya atau stigma yang membuat orang
berlabel ET berbeda dengan orang biasa. Pemerintah menyebut kamp kerja paksa
tersebut sebagai upaya merehabilitasi warga agar kembali menjadi warga negara
yang pancasilais.
Budi
bahkan mengisahkan salah satu tapol saat pembuatan jembatan keledai
diperintahkan menghafal Pancasila beserta simbolnya. Semua atas nama Pancasila jua. Entah harus disebut unik atau miris, jika ada
salah satu tapol yang menghafal Pancasila menjadi sangat berbeda dengan pengetahuan masyarakat
umum sebagaimana dikenal saat ini. Tapol itu menuliskan kelima sila itu menjadi :
- Ketuhanan Yang Berbintang
- Kemanusiaan yang Dirantai
- Persatuan di Pohon Beringin
- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Kerbau
- Keadilan di Kuburan....
Hal
menarik lainnya adalah aspek seksualitas di dalam kamp konsentrasi.
Kecenderungan homoseksualitas di kalangan tapol cukup lumrah kala itu. Hersri
menyebutkan itu bukanlah aib yang harus ditutup- tutupi. Mengapa? Ini semua
terjadi karena adanya pengaruh isolasi. Bahkan, ketika menyangkut tahanan
perempuan lebih mengerikan. Mereka menjadi korban pelecehan bahkan eksploitasi
seksual petugas di lapangan.
Sutradara
dan penulis sekaligus aktor teater Naomi Srikandi yang mengaku sebagai wakil
orang awam menerangkan pengulangan kisah yang diceritakan dalam buku ini
ternyata bentuk personalisasi pengalaman hidup. Menurutnya, Hersri telah
memberikan pengalaman tekstual bahwa kemanusiaan harus diasah dan kekerasan
harus diputus mata rantainya.
Hersri
mengungkapkan kehidupan tapol dipisahkan dari kehidupan masyarakat biasa.
Akibatnya, banyak penduduk sekitar yang jarang berkomunikasi dengan para tapol
karena lokasi terpisah. Para tapol justru biasanya berinteraksi dengan
anak-anak. Hersri pernah bertanya apa cita-cita anak-anak saat mereka besar nanti.
Bocah-bocah polos itu menjawab mereka ingin menjadi petugas/pengawas kamp
karena bisa menjadi tuan tanah yang kaya. Saat itu, Hersri menyadari tapol
tidak memiliki apa-apa. Pemilik tanah ternyata para petugas yang mengawasi para
pekerja paksa bertani. Pulau Buru kini juga dikenal dengan hasil pertanian yang
melimpah seperti sayur mayur, ikan, kepiting, dan bakau. Bahkan, pulau Buru
juga dikenal sebagai penghasil kayu putih yang berkualitas.
Kesimpulan
diskusi dan bedah buku ini yang diambil Arie adalah diskusi bukan bertujuan
membahas atau meratapi keprihatinan yang terjadi pada 1965, tetapi mencari
makna dari sejarah kelam yang selama ini ditutup-tutupi agar menjadi
pembelajaran bagi semua pihak.
Kemudian,
tantangan serius yang dihadapi bangsa ini adalah penegakan hak asasi manusia
(HAM) yang seharusnya bukan hanya bersifat normatif, melainkan harus menjadi
gerakan yang sinergis antara pemerintah dengan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar